Pengusaha dan Karyawan Wajib Tahu Isi Undang-Undang Cipta Kerja Terbaru

Ilustrasi perjuangan hak-hak buruh/Ist.

KANAWAADVANCE.COM -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI melalui Rapat Paripurna akhirnya secara resmi menyetujui penggantian Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja setelah drama awal keputusan hakim yang inkonstitusional terhadap UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 

Penting untuk kita ketahui bahwa, Pengesahan Rancangan Undang-Undang UU Nomor 11 tentang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 oleh DPR RI menuai protes dari masyarakat terutama serikat pekerja bersama para buruh. 

Setelah melakukan uji formil, Majelis Hakim Konstitusi menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) cacat secara formil, hal tersebut berdasarkan putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Dalam Amar Putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman, Mahkamah mengabulkan untuk sebagian permohonan yang diajukan oleh Migrant CARE, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat, Mahkamah Adat Minangkabau, serta Muchtar Said.

Baca juga: 2 Orang Menjadi Korban Robohnya TPT Kapela St. Petrus Ndona NTT

“Menyatakan  pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan'. Menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini,” ucap Anwar yang didampingi oleh 8 hakim konstitusi lainnya.

Dalam putusan yang berjumlah 448 halaman tersebut, Mahkamah juga memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.

Mengenal Lebih Dalam tentang UU Omnibus Law

Omnibus Law merupakan sebuah istilah Latin yang diambil dari kata Omnis yang berarti untuk semua atau banyak dan Law yang berarti Hukum. Omnibus Law secara harafiah berarti hukum untuk semua. Ketika ditambahkan dengan undang-undang, maka Omnibus Law diartikan sebagai sebuah regulasi atau peraturan undang-undang yang mencakup berbagai isu atau topik.

Mahfud MD menceritakan istilah Omnibus Law yang berawal dari sebuah bus di Kota Paris, Perancis. Mahfud mengatakan, saat itu terdapat bus yang bisa mengangkut barang dan orang sekaligus ke satu tujuan yang sama.

"Pada tahun 1830 belum ada bus yang dipakai untuk mengangkut orang dan barang sekaligus alias dibawa secara terpisah-pisah. Bus itu disebut dengan nama Omnibus," ujar Mahfud di Hotel Shangri-La, Jakarta, Rabu (22/1).

Baca juga: Ini Beberapa Alasan, Pj. Bupati Nagekeo Lakukan Mutasi Kepala Bapelitbangda

Nama Omnibus, kata Mahfud, kemudian dipakai oleh negara-negara Amerika Latin untuk sebuah istilah hukum yang bisa mengatur banyak hal lewat sebuah UU. Istilah itu kemudian dikenal sebagai hukum yang dipakai untuk memuat banyak hal.

Mahfud MD menganalogikan omnibus law seperti sebuah bus mengangkut orang yang punya tujuan sama, tidak harus pakai beberapa bus.

"Artinya hukum yang besar itu memuat banyak hal tapi efisien, memang tujuannya ke satu pasar yang sama, kenapa tidak pakai satu bus saja," ucap Mahfud.

Dengan diundangkannya Perppu Cipta Kerja maka UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) tidak berlaku lagi. Namun ada beberapa ketentuan yang masih berlaku.

Jadi, UU Omnibus Law Cipta Kerja artinya UU baru yang menggabungkan regulasi dan memangkas beberapa pasal dari undang-undang sebelumnya termasuk pasal tentang ketenagakerjaan menjadi peraturan perundang-undangan yang lebih sederhana.

Isi UU Omnibus Law Cipta Kerja Terbaru

Sejak beberapa kali pergantian dari Undang-Undang menjadi Perppu kemudian disahkan kembali menjadi Undang-Undang, UU Cipta Kerja tidak banyak berubah secara signifikan. Substansinya masih sama.

Jika dijabarkan, UU Cipta kerja ini terdiri atas 11 klaster pembahasan dengan beberapa poin di dalamnya, di antaranya:

1. Penyederhanaan perizinan berusaha

2. Persyaratan investasi

3. Ketenagakerjaan

4. Kemudahan dan perlindungan UMKM

5. Kemudahan berusaha

6. Dukungan riset dan inovasi

7. Administrasi pemerintahan

8. Pengenaan sanksi

9. Pengadaan lahan

10. Investasi dan proyek pemerintahan

11. Kawasan ekonomi

Baca juga: Kisah Rambu Anggi dari Soe: dari Jual Sayur dan Kayu Api hingga Raih S2 di Jawa

Dari sebelas klaster seperti yang disebutkan di atas, tentunya ada ratusan pasal dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja ini.

Disitir dari Mekari Talenta, Poin-Poin UU Omnibus Law Cipta Kerja Terbaru Jika disandingkan dengan undang-undang terdahulunya, pada UU Cipta Kerja ini ada beberapa perbedaan terkait kebijakan ketenagakerjaan.

Ada perubahan dan penghapusan terhadap beberapa pasal yang ada dalam UU 13/2003.

Berikut poin-poin perubahan pada UU Omnibus Law Cipta Kerja dibanding UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang harus diketahui oleh pengusaha atau karyawan:

Jam Kerja/Hari Libur

Poin terkait aturan jam kerja atau hari libur dalam UU baru ini adalah:

1. Jam Kerja

Waktu kerja lembur menjadi 4 jam per hari dan 18 jam per minggu.

Pada UU sebelumnya, disebutkan waktu kerja lembur paling banyak hanya 3 jam per hari dan 14 jam per minggu.

2. Hari Libur Mingguan

Hari libur bekerja atau istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja.

Artinya, dalam seminggu hari kerja sebanyak 6 hari itu liburnya 1 hari.

Baca juga: 2 Imam di Filipina Diduga Terlibat Pendanaan Teroris

Ini berbeda dengan UU 13/2003 yang mencantumkan bahwa istirahat mingguan sesuai Pasal 79 ayat (2) huruf b ada 2 pilihan, yakni istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam satu minggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam satu minggu.

3. Istirahat Panjang

Tidak ada kewajiban bagi perusahaan atas pemberian istirahat panjang.

Jadi, hak cuti panjang selama 2 bulan bagi pekerja/buruh yang sudah bekerja selama 6 tahun secara terus menerus yang selama ini berlaku di UU sebelumnya itu diserahkan sebagai kewenangan perusahaan.

4. Cuti Haid

Tidak tercantum cuti haid bagi perempuan di hari pertama dan kedua.

Belum bisa dipastikan apakah pasal terkait cuti haid diubah atau dihilangkan

Dalam Pasal 81 UU 13/2003 diatur bahwa pekerja/buruh wanita wajib mendapat cuti selama masa haid dan dibayar upah.

5. Cuti Hamil-Melahirkan

Tidak tercantum mengenai cuti hamil dan melahirkan.

Belum bisa dipastikan apakah pasal terkait cuti hamil-melahirkan diubah atau dihilangkan.

Pada UU sebelumnya Pasal 82, diatur mekanisme cuti hamil-melahirkan bagi pekerja perempuan.

Di dalamnya termasuk cuti untuk istirahat bagi pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran.

Baca juga: Ini 8 Rahasia Kenapa Jepang Menjadi Negara Maju

6. Hak Menyusui

Tidak tercantum mengenai hak menyusui.

Belum bisa dipastikan apakah pasal terkait hak menyusui diubah atau dihilangkan.

Sebelumnya dalam Pasal 83 UU 23/2003 diatur bahwa pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

7. Status Pekerja/Karyawan

Pasal mengenai PKWT yang ada di UU Ketenagakerjaan dihapus. Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang syarat Pekerja Waktu Tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.

Artinya, tidak ada batasan aturan pekerja bisa dikontrak alias status kontrak tanpa batas.

Pasal dalam UU 13/2003 yang dihapus ini adalah Pasal 59, yang mengatur perjanjian PKWT terhadap pekerja maksimal dilakukan selama 2 tahun, lalu boleh diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun.

Jika mengacu pada penjelasan Pasal 59 ini, artinya masa kontrak pekerja maksimal 3 tahun, dan setelah itu dilakukan pengangkatan atau tidak dilanjutkan.

Namun, Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan dalam laman media sosialnya bahwa status PKWT dan PKWTT tetap ada.

8. Upah

Sementara itu aturan mengenai pengupahan diubah menjadi 7 kebijakan, di antaranya:

1. Upah minimum

2. Struktur dan skala upah

3. Upah kerja lembur

4. Upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu

5. Bentuk dan cara pembayaran upah

6. Hal-hal lain yang dapat diperhitungkan dengan upah

7. Upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya

Sebelumnya dalam Pasal 88 ayat (3) UU Ketenagakerjaan disebutkan ada 11 kebijakan pengupahan.

4 ketentuan terkait pengupahan pada UU 13/2003 yang dihapus dalam UU Cipta Kerja ini adalah:

1. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya

2. Upah untuk pembayaran pesangon

3. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan

4. Denda dan potongan upah

Mengenai upah, dalam udang-undang cipta kerja ada cara menghitungnya:

1. Upah Satuan Hasil dan Waktu

Dalam UU Cipta Kerja ini, diatur mengenai upah satuan hasil dan waktu.

Upah satuan hasil adalah upah yang ditetapkan berdasarkan satu waktu seperti harian, mingguan atau bulanan. Ini termasuk juga upah per jam.

Upah satuan hasil ini ditetapkan berdasarkan hasil dari pekerjaan yang telah disepakati.

2. Upah Minimum

Di UU Omnibus Law Cipta Kerja ini, upah minimum disebutkan hanya berupa Upah Minimum Provinsi (UMP).

Artinya, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) tidak digunakan lagi.

Sehingga penentuan upah minimum berdasarkan provinsi atau gaji UMP.

3. Rumus Penghitungan Upah Minimum

Dalam menghitung besar upah minimum, dalam UU Cipta Kerja digunakan rumus:

UMt + 1 = UMt + (UMt) x % PEt)

Keterangan:

UMt: Upah minimum tahun berjalan

PEt: Pertumbuhan ekonomi tahunan

4. Bonus

Pada UU Omnibus Law Cipta Kerja diatur mengenai pemberian bonus, atau penghargaan lainnya bagi pekerja sesuai masa kerjanya. Sementara itu dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya tidak diatur terkait dengan pemberian bonus ini.

Penghapusan Upah Minimum bagi UMKM

Berdasarkan UU Cipta Kerja, pemerintah kini mengecualikan pemberian upah minimum untuk pengusaha mikro dan kecil.

Ini tercantum dalam Pasal 90B UU Cipta Kerja yang berbuny:

Ketentuan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (21 dikecualikan lagi usaha mikro dan kecil.

Menurut pasal tersebut, upah karyawan dari usaha mikor dan kecil bergantung pada kesepakatan antara pemberi kerja dan karyawan.

5. Pesangon

Berikut beberapa poin mengenai uang pesangon dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja dibanding UU Ketenagakerjaan:

1. Uang Penggantian Hak

Tidak ada uang penggantian hak dalam UU Cipta Kerja.

Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan mengenai uang penggantian hak ini diatur dalam Pasal 154 ayat (4)

2. Uang Penghargaan Masa Kerja

Tidak ada uang penghargaan masa kerja 24 tahun dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja ini.

Sebelumnya, dalam UU 13/2003 ini terkait pemberian uang penghargaan bagi pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 24 tahun atau lebih menerima uang penghargaan sebanyak 10 bulan upah, yang tercantum dalam Pasal 156 ayat (3).

3. Uang Pesangon

Terkait pesangon dalam UU Cipta Kerja adalah sebagai berikut:

-. Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena surat peringatan

-. Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena peleburan, pergantian status kepemilikan perusahaan

-. Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan merugi 2 tahun dan pailit.

-. Tidak ada uang santunan berupa pesangon bagi ahli waris atau keluarga jika pekerja/buruh meninggal

-. Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena akan memasuki usia pensiun.

Sedangkan aturan mengenai uang pesangon dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 sebagai berikut:

-. Pesangon harus diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena melakukan pelanggaran setelah diberi surat peringatan yang diatur dalam perjanjian kerja, perjanjian perusahaan atau perjanjian kerja sama (diatur dalam Pasal 161).

-. Pesangon harus diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena perubahan status atau penggabungan perusahaan maupun perubahan kepemilikan perusahaan, sebesar 1 kali gaji, uang penghargaan masa kerja 1 kali, uang penggantian hak (diatur dalam Pasal 156).

-. Pesangon diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan merugi dan pailit (sesuai Pasal 164 dan 165)

Pemberian uang santunan pada ahli waris atau keluarga pekerja jika pekerja/buruh meninggal dunia.

-. Uang Pesangon diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena memasuki usia pensiun. Pesangon diberikan sebanyak 2 kali, uang penghargaan masa kerja 1 kali dan uang penggantian hak (sesuai Pasal 156 dan 167).

6. Jaminan Sosial

Pengaturan mengenai jaminan sosial dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja dan UU 13/2003 diantaranya:

1. Jaminan Pensiun

Tidak ada sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program jaminan pensiun.

Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan diatur bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program jaminan pensiun akan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000 dan paling banyak Rp500.000.000.

2. Jaminan Kehilangan Pekerjaan

Adanya pengaturan program jaminan sosial baru, yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan, yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan perusahaan berdasarkan prinsip asuransi sosial. Jaminan kehilangan pekerjaan ini sebelumnya tidak diatur dalam UU 13/2003.

Baca juga: 3 ART Asal NTT Tak Digaji 8 Bulan, Rumah Bos Digeruduk Massa

7. PHK

Berikut perbedaan ketentuan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diatur dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja 2020 dibanding UU Ketenagakerjaan ini.

Perusahaan boleh Melakukan PHK Dalam UU 13/2003, ada 9 alasan perusahaan boleh melakukan PHK, di antaranya:

1. Perusahaan bangkrut

2. Perusahaan tutup karena merugi

3. Perubahan status perusahaan

4. Pekerja/buruh melanggar perjanjian kerja

5. Pekerja/buruh melakukan kesalahan berat

6. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun

7. Pekerja/buruh mengundurkan diri

8. Pekerja/buruh meninggal dunia

9. Pekerja/buruh mangkir

Sementara itu, pada UU Omnibus Law Cipta Kerja ini bertambah 5 poin lagi, sehingga totalnya menjadi 14 alasan yang memperbolehkan perusahaan melakukan PHK, yaitu:

1. Perusahaan melakukan efisiensi

2. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan

3. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang

4. Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh

5. Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan*

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak