Kedua penulis bersama moderator dan Pimpinan Binus/Dok. Pribadi. |
KANAWAADVANCE.COM -- Seorang akademisi wajib mempunyai karya akademik, sebagai pembuktian atas sebutan yang disematkan kepada mereka.
Ada sebuah ungkapan menarik tentang bagaimana kita mengenal dan kita pun akan dikenal.
Begini kutipan sederhana tentang itu: "Kalau kamu ingin mengenal dunia maka membacalah, tapi kalau dunia ingin mengenalmu maka menulislah”.
Persis tanggal Rabu (29/5), Character Building Development Center (CBDC) bekerja sama dengan Binus Publishing melakukan diskusi sebuah karya akademik dari dua akademisi asal Kefa, Nusa Tenggara Timur, Redemtus Kono, M.Fil dan Dr. Frederikus Fios, S.Fil.,M.Th berjudul Filsafat Solidaritas: Perspektif Richard Rorty.
Diskusi dibuka langsung oleh Prof. Dr. Engkos Achmad Kuncoro, S.E., M.M yang juga menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Bina Nusantara. Dalam sambutannya Prof. Engkos mengucapkan proficiat atas penerbitan dan peluncuran buku yang luar biasa tersebut.
Menurutnya filsafat adalah ibu dari kebenaran. Namun, sayangnya, tidak banyak program studi di Indonesia yang memberikan perhatian kepada program filsafat.
Baca juga: Nasib Apes Menimpa Seorang Bapak di Soe NTT, Pencuri Sisahkan Tali dan Perut Sapi
Bersama Penulis Buku Filsafat Solidaritas Perspektif Richard Rorty/Dok. Pribadi. |
Prof. Dr. Engkos Achmad Kuncoro, S.E., M.M menegaskan bahwa Universitas Binus ada Character Building Development Center. CBDC menjadi unit penanggung jawab terhadap pengembangan karakter dan karakter erta kaitannya dengan filsafat.
"Universitas Bina Nusantara ada unit Character Building Development Center (CBDC). Unit ini bertangggungjawab terhadap pengembangan karakter para Binusian. Karakter erat kaitannya dengan Filsafat. Setiap orang memiliki keyakinan yang sama tentang kebenaran hakiki. Kita memiliki peran dan tugas yang sama yakni menjunjung tinggi kebenaran. Di Indonesia, kita punya Pancasila sebagai dasar filsafat negara,"tegas Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Manajemen BINUS UNIVERSITY tersebut.
Lanjut Prof. Engkos, dengan adanya diskusi buku Filsafat Solidaritas, semoga semua tercerahkan.
"Harapan supaya dengan diskusi buku Filsafat Solidaritas: Perspektif Richard Rorty ini, kita semua tercerahkan. Filsafat solidaritas merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kita semua," tutupnya.
Baca juga: Singgung Timur Leste, PM Bangladesh Menuduh Umat Kristen Membentuk Negara Kristen
Manager CBDC Universitas Bina Nusantara, Dr. Frederikus Fios, yang juga sebagai penulis dari buku tersebut menjelaskan bahwa buku ini sebetulnya mengajak kita semua untuk saling menghormati keunikan masing-masing. Solidaritas dalam konteks ini harus dibangun dari keunikan kita masing-masing dalam memahami realitas sosial yang kita alami dan kita jumpai.
Alumnus IFTK Ledalero (dulu STFK Ledalero) ini menjelaskan bahwa Filsafat tidak hanya berkutat dalam soal pemikiran. Filsafat juga berkaitan dengan refleksi terhadap realitas sosial. Hal inilah yang kita pelajari dari filsafat solidaritas dalam perspektif Richard Rorty.
Penulis utama, Redemtus Kono menegaskan bahwa solidaritas itu tidak ditemukan tetapi diciptakan. Solidaritas lahir dari rasa rasa yang sama. Bagaimana Sumpah Pemuda bisa terjadi jika semua pemuda pada waktu itu tidak merasakan kesakitan yang sama atas tindakan ketaksewenangan pihak penjajah.
Baca juga: Terobsesi Perang di Game Online, 2 Mahasiswa dan 1 ABH Terancam 2 Sampai 20 Tahun Penjara
"Solidaritas itu tidak ditemukan tetapi diciptakan. Ada beberapa kondisi yang diperlukan bagi penciptaan solidaritas ini. Solidaritas berangkat dari sensivitas. Sensivitas terhadap pengalaman-pengalaman keterbatasan, penderitaan dan tertindas. Atas dasar sensivitas itu sehingga lahirlah sumpah pemuda di pada tanggal 28 Oktober 1928," tegas Alumnus STFK Driyakara tersebut.
Redem Kono yang juga merupakan alumnus IFTK Ledalero, secara tersirat menjelaskan bahwa solidaritas membutuhkan imajinasi, karena imajinasi yang membuat kita memahami situasi penderitaan orang lain. Menurutnya kita perlu mempelajari sastra, seperti membaca novel agar kita bisa mengkomunikasikan sesuatu persoalan di dalam diri.
"Solidaritas juga membutuhkan imajinasi. Imajinasi sangat penting agar kita dapat memahami situasi penderitaan orang lain. Selain itu, imaginasi juga mendorong kita untuk bersolider dengan orang lain. Sensivitas dan imaginasi dapat kita latih dengan mempelajari sastra," beber Redem Kono yang saat ini menjabat sebagai Tenaga Ahli Anggota DPR RI.*