Prabowo Melawan Takdir

Prabowo Subianto.

Tahun depan Prabowo Subianto sudah menginjak usia 72 tahun. Namun nafsunya untuk berkuasa tak pernah usai. Sejak maju di Pilpres pada Pemilu 2009, Prabowo menelan tiga kali kekalahan beruntun. 

Di Pemilu 2009, Prabowo maju sebagai calon wakil presiden berpasangan dengan Megawati sebagai calon presiden. Pasangan senior ini kalah dari dominasi petahana Presiden SBY.

Di Pilpres 2014 dan 2019, Prabowo head-to-head dengan Jokowi Widodo alias Jokowi, namun dua kali pula menelan kekalahan. Prabowo mengeklaim memiliki data internal yang mengungguli Jokowi, namun rilis resmi KPU membantah semua omong kosongnya.

Baca juga: Jokowi Uji Coba LRT Bareng Artis Tatkala Buruh Demo di Jakarta

Di Pilpres 2024, Prabowo tak jemu-jemu maju lagi sebagai capres. Memang belum ada cawapres yang mendampinginya. Namun sudah ada lima partai politik yang mendukungnya, yaitu Gerindra, PAN, PKB, Golkar, dan PBB. Golkar dan PAN baru saja deklarasi pekan lalu.

Koalisi gemuk ini seakan mengulangi kembali realitas politik yang terjadi di Pemilu 2014. Saat itu Jokowi hanya didukung empat parpol, sedangkan Prabowo diusung oleh enam parpol besar.

Namun, kekuatan akar rumput Jokowi melalui jaringan relawan di tanah air tak terbendung. Enam parpol gemuk dikalahkan Jokowi dengan mudah.

Prabowo Melawan Takdir

Meski sudah tiga kali kalah, Prabowo tak pernah berlari dari takdirnya. Sebagai petarung sejati, dia siap menghadapi Ganjar Pranowo sebagai capres pilihan PDIP dan Anies Baswedan dari Koalisi Perubahan.

Prabowo merasa lebih kuat dan yakin karena secara tidak langsung mendapat limpahan dari tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi.

Namun demikian, apakah benar Prabowo ingin membangun bangsa ini menjadi lebih baik? Belum tentu karena watak setiap orang baru kelihatan ketika diberikan kekuasaan.

Selama menjadi Menteri Pertahanan Jokowi, tidak ada prestasi atau kinerja positif yang ditunjukkan Prabowo. Dia lebih terlihat dekat dengan Jokowi yang dicurigai hanya ingin meraih simpati dan citra positif. 

Dia ingin mengubah citranya yang otoriter, tetapi di beberapa kesempatan, seperti di Yogyakarta belum lama ini, dia bertindak otoriter dengan memerintahkan anak buahnya skot jump di depan banyak orang karena gelas kosong disajikan untuknya saat pidato di depan para purnawirawan.

Apakah citra itu hilang atau tetap membekas? Belum tentu secepat itu.*

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak